Welcome Reader

Minggu, 07 Maret 2021

Sumber Ajaran Islam dan Karakteristiknya

Ilmu pengetahuan pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma tertentu yang membimbing sang ilmuwan untuk melakukan kegiatan ilmiahnya sehingga terbangun suatu ilmu pengetahuan (normal science). Pada saat tertentu akan terjadi krisis di mana teori-teori yang dibangun tidak dapat lagi menjelaskan fakta-fakta yang ada. Dalam situasi krisis inilah ilmuwan akan melakukan revolusi sehingga melahirkan paradigma baru.

Melakukan revolusi sains diperlukan kehati-hatian dengan tidak bersikap emosional sehingga seolah apa yang dihasilkan pada masa lalu adalah gagal total. Umat Islam sering terjebak pada apologi khususnya para ilmuwan di lingkungan religious studies. Mereka berangkat dari wilayah normative sehingga memiliki asumsi bahwa hanya wahyu yang mutlak benar, dan sains modern bersifat nisbi (hanya terukur).Agama menyediakan tolak ukur kebenaran ilmu (benar, salah), bagaimana ilmu diproduksi (baik, buruk), dan tujuan-tujuan ilmu (manfaat, merugikan).

Dalam lingkungan studi Islam, istilah epistemologi sering dipertukarkan dengan istilah pemikiran. Epistemologi adalah salah satu cabang filsafat yang membahas tentang hakikat pengetahuan manusia. Persoalan pokok yang berkembang dalam epistemologi adalah meliputi sumber-sumber pengetahuan, watak dari pengetahuan manusia, apakah pengetahuan itu benar (valid) ataukah tidak. Bagaimana pengetahuan manusia itu didapat, dengan cara apa dan apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi. Sehingga epistemologi sampai pada problem hubungan metodologi dengan obyek dari ilmu pengetahuan. Sedangkan pemikiran berasal dari kata pikir yang berarti akal budi, ingatan, angan-angan, sehingga pemikiran berarti proses, cara, perbuatan memikir.

Umat Islam mengakui bahwa hadits Nabi SAW dipakai sebagai pedoman hidup yang utama setelah al-Qur’an. Ajaran-ajaran Islam yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak dirinci menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak diterangkan cara pengamalannya dan atau tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam al-Qur’an, maka hendaknya dicarikan penyelesaiannya dalam hadits. Meski demikian, tetap saja ada yang orang yang menolak hadits sebagai sumber ajaran Islam di kalangan orang Islam. Mereka umumnya memahami bahwa adanya otoritas Nabi sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Qur’an tersebut menunjuk pada ucapan dan tindak tanduk Rasulullah di luar al-Qur’an. Terdapat sejumlah ulama dan intelektual Islam yang hanya menerima otoritas al-Qur’an seraya menolak otoritas hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam. Namun ada pula yang membatasi penggunaan hadits sebagai sumber ajaran Islam yang kedua.

Sumber hukum Islam adalah wahyu Allah SWT yang dituangkan di dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Jika kita telaah ayat-ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan hukum, ternyata ayat-ayat yang menunjukkan hukum-hukum yang agak terperinci hanyalah mengenai hukum ibadat dan hukum keluarga. Adapun hukum-hukum dalam arti luas, seperti masalah kebendaan, ekonomi, perjanjian, kenegaraan, tata negara dan hubungan internasional, pada umumnya hanya merupakan pedoman-pedoman dan garis besar. Penegasan Al-Qur'an terhadap Sunnah Rasul dalam beberapa ayat, ditujukan agar sunnah Rasul dapat menjadi perantara dan penjelas untuk dapat memahami ayat-ayat yang global tersebut. Rasulullah telah menjadi uswatun hasanah dalam melaksanakan ajaran Al-Qur'anulkarim.

Berikut ini dikemukakan ciri-ciri syariah AI-Qur'an yang dikemukakan Taufiqullah (1991: 48) yaitu sebagai berikut:

1. Al-Qur'an memberikan prinsip-prinsip umum tanpa mendetail dalam hal-hal yang mengatur ketergantungan manusia sesamanya dan antar manusia dengan alam, sehingga menjadikan fleksibelnya ajaran Islam untuk menuntun manusia yang hidup dalam berbagai ras dan bangsa serta sepanjang masa. Prinsip yang merupakan keharusan bagi suatu ajaran yang bersifat universal dan eternal (abadi).

2. Al-Qur'an mengadakan peraturan-peraturan terperinci dalam hal-hal yang tidak terpengaruh oleh perkembangan masyarakat manusia. Misalnya ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum waris, wudlu dan tayamum.

Selanjutnya, mengenai prinsip syariah Al-Qur'an, Taufiqullah (1991: 49), mengemukakan sebagai berikut:

1.    Tidak memberatkan.

2.    Sangat sedikit mengadakan kewajiban secara terperinci, yaitu memerintah dan melarang.

3.    Syariah datang dengan prinsip graduasi (berangsur-angsur), bukan secara sekaligus.

Adapun mengenai macam-macam hukum dalam Al-Qur'an, di sini dikemukakan bahwa hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur'an itu ada 3 macam, yaitu:

1.  Hukum-hukum i'tiqodah. Yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir.

2.  Hukum-hukum akhlak. Yakni tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban orang mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dari sifat-sifat yang tercela.

3. Hukurn-hukurn arnaliah. Yakni yang bersangkutan dengan perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, perjanjian-perjanjian dan muamalah (kerjasama) sesama manusia.

Adapun fungsi Al-Qur'an meliputi hal-hal sebagai berikut:

1.    Petunjuk untuk manusia

2.    Keterangan-Keterangan

3.    Rahmat dan hidayah bagi alam semesta

4.    Mu'jizat bagi Nabi Muhammad SAW

5.    Pengajaran dari Allah SWT

6.    Obat penyakit hati

7.    Penguat dan penutup adanya kitab-kitab suci sebelumnya

Umat Islam menyepakati bahwa hadits Nabi Muhammad merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an bahkan hadits dapat berdiri sendiri sebagai sumber ajaran. Kedudukan hadis sebagai sumber ajaran Islam didasarkan pada keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajibnya mengikuti hadis baik pada Rasulullah masih hidup maupun setelah wafat. Keberadaan hadits sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, selain ketetapan Allah yang dipahami dari ayatnya secara tersirat juga merupakan ijma’ (konsensus) seperti terlihat dalam perilaku para sahabat. Ijma’ umat Islam untuk menerima dan mengamalkan sunnah sudah ada sejak zaman Nabi, para Khulafa al-Rasyidin dan para pengikut mereka. Hal ini terlihat misalnya, penjelasan Usman bin Affan mengenai etika makan dan cara duduk dalam shalat, seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Begitu juga, Umar bin Khattab mencium Hajar Aswad karena mengikuti jejak Rasul.

Ada 3 fungsi hadits terhadap al-Qur’an dalam pandangan Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib sebagaimana dikutip oleh Syahrin Harahap, diantaranya:

1.    Hadits berfungsi memperkuat apa yang dibawa al-Qur’an

2.    Hadits berfungsi memperjelas atau memperinci apa yang telah digariskan dalam al-Qur’an

3.  Hadits berfungsi menetapkan hukum yang belum diatur dalam al-Qur’an.