Welcome Reader

Minggu, 07 Maret 2021

Posisi Islam Sebagai Budaya

Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya dengan segala heterogenitasnya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas yaitu Islam sebagai konsespsisosial budaya, dan Islam sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi lokal) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam.

Agama yang dibudayakan adalah ajaran suatu agama yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh penganutnya sehingga menghasilkan suatu karya/budaya tertentu yang mencerminkan ajaran agama yang dibudayakannya itu. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa membudayakan agama berarti membumikan dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Memandang agama bukan sebagai peraturan yang dibuat oleh Tuhan untuk menyenangkan Tuhan, melainkan agama itu sebagai kebutuhan manusia dan untuk kebaikan manusia. Adanya agama merupakan hakekat perwujudan Tuhan.

Bagi umat Islam, peran sejarah bangsa Persia dalam membangun dan mengembangkan peradaban dan kebudayaan Islam adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. Bahkan menurut Ibnu Khaldūn, Mas’ūdī dan George Zeydan, tiga sejarawan kenamaan dalam Islam, sebagian besar ilmuan dunia Islam berasal dari negeri Persia. Di antara kontribusi Persia terhadap peradaban Islam, sufisme Persia dapat dikatakan merupakan salah satu yang terbesar.

Tesis paling dasar untuk membuktikan bahwa ada pengaruh Persia dalam budaya Islam Indonesia adalah pandangan bahwa masuknya Islam ke Indonesia adalah melalui Persia, atau dari Gujarat India yang sudah terpengaruh oleh Persia. Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 M dan pembawanya berasal dari Persia. Dasar teori ini adalah beberapa kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia. Pendukung teori ini antara lain adalah P. A. Hoessein Djajadiningrat.

Ada sangat banyak variabel budaya yang hidup di kalangan umat Islam Indonesia yang merupakan “serapan” dari budaya luar, termasuk Persia, mungkin juga India, Arab dan bahkan Jawa atau Melayu, namun tidak banyak orang yang mengenali dan bahkan tidak banyak ilmuwan yang tertarik dalam bidang ini. Perkembangan budaya Persia hingga merambah Indonesia, khususnya Islam yang bercorak sufistik, sebenarnya bukan sesuatu yang aneh dan luar biasa, karena di abad-abad pertama, semua perkembangan penting dalam dunia tasawwuf secara geografis berkaitan dengan Persia.

Sufisme adalah salah satu karakteristik dalam sastra Persia. Di Persia Tasawuf tumbuh subur pada abad 10 M yang nampak awal dalam karya Abū Ḥasan al-Kharqani dan Abū Yazīd al-Busṭāmī, akan tetapi tasawuf dalam bentuk puisi dan syair mulai berkembang dan disempurnakan pada abad 11 oleh penyair Abū Sa’īd Aba al-Khair di kota Khurasān, propinsi bagian timur laut Iran sekarang. Sastra sufistik ini kemudian berkembang pesat melalui tangan penyair-penyair Persia selanjutnya seperti Sanai, ‘Aṭṭār dan Jalāluddīn Rūmī yang mengantarkan sastra mistik Persia ke puncaknya melalui karya besarnya Matsnawi Ma’nawi. Di Indonesia sendiri sastra sufi baru dikenal pada abad 16, yang menurut Abdul Hadi W.M  dikenalkan oleh para penyair melayu seperti Hamzah Fansuri yang hidup di pertengahan abad 16 sampai awal abad 17 M dan oleh beberapa orang muridnya seperti Abdul Jamal, Abdurrahman Singkel dan Samsuddin Pasai. Karya-karya mereka seperti yang disimpulkan oleh para ilmuwan banyak sekali pengaruh dari sastra sufistik Persia.

Keberadaan Islam di Indonesia secara historis tidak terlepas dari sejarah Islam masuk Pertama kali di Tanah Jawa. Bahwa masuknya Islam di Jawa Pertama kali dibawa oleh Syeh Maulana Malik Ibrahim dan sebagai pendiri Pondok Pesantren Pertama di Indonesia. Para ahli berpendapat bahwa sekitar tahun 1416 M agama Islam sudah mulai dikenal oleh masyarakat Jawa. Pada masa itu, masyarakat Jawa pada umumnya adalah penganut animisme dan dinamisme yang juga sebagai pemeluk agama Hindu/Budha dan berada dibawah pemerintahan kerajaan Majapahit.

Adanya kepercayaan animisme/dinamisme. Dimana orang-orang Islam yang ada di Jawa masih percaya dengan hal tersebut. budaya Jawa menyangkut masalah keyakinan, seperti keyakinan akan adanya sesuatu yang dianggap ghaib dan memiliki kekuatan seperti Tuhan, dan juga menyangkut masalah perilaku ritual, seperti melakukan persembahan dan berdoa kepada Tuhan dengan berbagai cara tertentu, misalnya dengan sesaji atau dengan berdoa melalui perantara. Pada prinsipnya masyarakat Jawa adalah masyarakat yang religius, yakni masyarakat yang memiliki kesadaran untuk memeluk suatu agama. Hampir semua masyarakat Jawa meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang menciptakan manusia dan alam semesta serta yang dapat menentukan celaka atau tidaknya manusia di dunia ini atau kelak di akhirat. Yang perlu dicermati dalam hal ini adalah bagaimana mereka meyakini adanya Tuhan tersebut.

Masyarakat Jawa kontemporer dengan sejumlah kelompok sosio-religiusnya yang rumit, yang terdiri atas:

1. Abangan, atau mereka yang masih menitik beratkan unsur animistis dari keseluruhan sinkritisme Jawa dan berkaitan erat dengan elemen petani.

2. Santri, yang menekankan unsur sinkritisme Islami dan umumnya berkaitan dengan elemen pedagang dan dengan elemen petani tertentu.

3.   Priyayi, yang menitik beratkan unsur Hinduisme dan berkaitan dengan elemen-elemen birokrat.

Bagi kalangan masyarakat Jawa yang santri, hampir tidak diragukan lagi bahwa yang mereka yakini sesuai dengan ajaran-ajaran aqidah Islam. Mereka meyakini bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan mereka menyembah Allah dengan cara yang benar. Sementara bagi kalangan masyarakat Jawa yang abangan, Tuhan yang diyakini bisa bermacam-macam. Ada yang meyakini-Nya sebagai dewa dewi seperti dewa kesuburan (Dewi Sri) dan dewa penguasa pantai selatan (Ratu Pantai Selatan). Ada juga yang meyakini benda-benda tertentu dianggap memiliki ruh yang berpengaruh dalam kehidupan mereka seperti benda-benda pusaka (animisme), bahkan mereka meyakini benda-benda tertentu memiliki kekuatan ghaib yang dapat menentukan nasib manusia seperti makam orangorang tertentu (dinamisme).Meskipun bertujuan minta kepada Tuhan (Allah), tetapi menempuh cara yang bertentangan dengan ajaran syariah Islam karena syariah Islam mengatur masalah ibadah (ibadah mahdlah) dengan tegas dan tidak dapat ditambah-tambah atau dikurangi.

Bagi kebanyakan orang, ada anggapan bahwa sebagian adat kebiasaan dan tradisi keagamaan yang di lakukan kalangan muslim tradisional, khususnya di Jawa, adalah pencampur-adukan antara ajaran Hindu-Buddha dengan Islam. Sebagai contoh, tradisi keagamaan tentang kenduri dan memperingati orang mati pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke 1000, padahal dalam agama Hindu dan Buddha tidak dikenal kenduri peringatan orang mati pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000. Menurut Agus Sunyoto, apabila ditelusuri dari fakta sosio-kultural religius pada masyarakat Jawa pasca Majapahit, ternyata upacara peringatan orang mati pada hari ke 3, ke 7, ke 40, ke 100, dan ke 1000 termasuk haul adalah tradisi khas Campa yang terpengaruh faham Syi’ah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar