A.
Paradigma Keilmuan Integratif
Masyarakat Islam memandang ulama tarekat
dan ulama fiqih. Keduanya menanamkan paham taklid dan membatasi kajian agama
hanya dalam bidang yang sampai sekarang masih dikenal sebagai ilmu-ilmu agama
seperti tafsir, fiqih, dan tauhid. Ilmu tersebut mempunyai pendekatan normatif
dan tarekat, tarekat hanyut dalam wirid dan dzikir dalam rangka mensucikan jiwa
dan mendekatkan diri kepada Allah swt dengan menjauhkan kehidupan duniawi.
Ulama tidak tertarik mempelajari alam dan
kehidupan manusia secara objektif, bahkan ada yang mengharamkan untuk
mempelajari filsafat, padahal dari filsafatlah iptek bisa berkembang pesat. Keadaan
ini mengalami perubahan pada akhir abad ke-19, yakni sejak ide-ide pembaharuan
diterima dan didukung oleh sebagian umat. Al-Faruqi menyerukan perlunya
dilaksanakan islamisasi sains. Dan sejak itu gerakan islamisasi ilmu
pengetahuan digulirkan, dan kajian mengenai Islam dalam hubungannya dengan
pengembangan iptek mulai digali dan diperkenalkan.
Memasuki era modern kesenjangan menghadapi
dunia pendidikan tinggi Islam dalam tiga situasi yang buruk pertama, dikotomi
yang berkepanjangan antara ilmu agama dan ilmu umum; kedua, keterasingan
pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dari realitas kemodernan; dan ketiga menjauhnya
kemajuan ilmu pengetahuan dari nilai-nilai agama.
Iwan Satriawan memberikan beberapa solusi
alternatif yang bisa dipertimbangkan untuk menyelesaikan berbagai ketimpangan
paradigma keilmuan di atas. Pertama, paradigma pendidikan umat Islam memang
harus diubah dengan memasukkan visi religiusitas sebagai basis utama
pendidikan. Dengan konsep ini diharapkan akan lahir generasi yang leading dan
enlightening. Kedua, harus ada upaya serius untuk melakukan proses harmonisasi
antara sistem pendidikan sekuler dan nilai-nilai Islam, sehingga konflik-konflik
ilmu pengetahuan bisa diminimalisasi. Kedua, harus ada upaya serius untuk melakukan
proses harmonisasi antara sistem pendidikan sekuler dan nilai-nilai Islam, sehingga
konflik-konflik ilmu pengetahuan bisa diminimalisasi.
B.
Berbagai Model Integrasi Ilmu dan Agama
Menurut Armahedi Mahzar, setidaknya ada 3
(tiga) model integrasi ilmu dan agama, yaitu model monadik, diadik dan triadik.
Pertama, model monadik merupakan model yang populer di kalangan fundamentalis
religius maupun sekuler. Kalangan fundamentalisme religius berasumsi bahwa
agama adalah konsep universal yang mengandung semua cabang kebudayaan.
Kedua, model diadik. Model ini memiliki
beberapa varian. Pertama, varian yang menyatakan bahwa sains dan agama adalah
dua kebenaran yang setara. Varian kedua berpendapat bahwa, agama dan sains
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sedangkan varian ketiga
berpendapat bahwa antara agama dan sains memiliki kesamaan. Kesamaan inilah
yang bisa dijadikan bahan integrasi keduanya.
Ketiga, model triadik. Dalam model triadik
ini ada unsur ketiga yang menjembatani sains dan agama. Jembatan itu adalah
filsafat. Model ini diajukan oleh kaum teosofis yang bersemboyan “there is no
religionhigher than truth” Kebenaran adalah kebersamaan antara sains, filsafat
dan agama.16 Tampaknya, model ini merupakan perluasan dari model diadik, dengan
memasukkan filsafat sebagai komponen ketiga yang letaknya di antara sains dan agama.
Menurut Muhammad ’Ãbid al-Jãbirî, ada tiga
model epistemologis yang berlaku di kalangan Arab-Islam yaitu epistem bayãnî,
‘irfãnî dan burhãnî. al-Jabiri membedakan antara ketiga epistemologi tersebut,
bahwa bayãnî menghasilkan pengetahuan lewat analogi realitas non fisik atas
realitas fisik (qiyãs al-ghayb ‘alã al-shãhid) atau mengqiyãskan furû’ kepada
asl, ‘irfãni menghasilkan pengetahuan setelah melalui proses kashf yaitu
penyatuan ruhani kepada Tuhan dengan penyatuan universal (kulliyãt), sedangkan
burhãnî menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas
pengetahuan sebelumnya yang diyakini validitasnya.
C.
Integrasi Interkoneksi: Antara Teori dan Praktik
Dari
paradigma integrasi-interkoneksi, kita akan membayangkan beberapa hal:
1. Pada
ranah filosofis integrasi interkoneksi, setiap mata kuliah harus diberi nilai fundamental eksistensial dalam kaitannya dengan disiplin keilmuan lainnya dan dalam hubungannya
dengan nilai-nilai humanistik.
2. Pada
ranah materi, integrasi interkoneksi merupakan bagai- mana suatu proses mengintegrasikan
nilai-nalai kebenaran universal umumnya dan keIslaman khususnya dalam
pengajaran mata kuliah umum seperti filsafat, antropologi dan lain-lain. Implementasi
integrasi interkoneksi pada ranah materi tersebut bisa berbentuk:
a. Model
pengintegrasian kedalam paket kurikulum
b. Model
penamaan mata kuliah yang menunjukan hubungan antara dua disiplin ilmu umum dan
keIslaman
c. Model
pengintegrasian kedalam tema-tema mata kuliah
3. Pada
ranah metodologi, yaitu ketika sebuah disiplin ilmu diintegrasi dan diinterkoneksikan
dengan disiplin ilmu lain, contohnya psikologi dengan nilai-nilai Islam
4. Pada
ranah strategi, merupakan ranah pelaksanaan atau praktis dari proses
pembelajaran keilmuan integrasi interkoneksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar