Welcome Reader

Minggu, 07 Maret 2021

Sumber Ajaran Islam dan Karakteristiknya

Ilmu pengetahuan pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma tertentu yang membimbing sang ilmuwan untuk melakukan kegiatan ilmiahnya sehingga terbangun suatu ilmu pengetahuan (normal science). Pada saat tertentu akan terjadi krisis di mana teori-teori yang dibangun tidak dapat lagi menjelaskan fakta-fakta yang ada. Dalam situasi krisis inilah ilmuwan akan melakukan revolusi sehingga melahirkan paradigma baru.

Melakukan revolusi sains diperlukan kehati-hatian dengan tidak bersikap emosional sehingga seolah apa yang dihasilkan pada masa lalu adalah gagal total. Umat Islam sering terjebak pada apologi khususnya para ilmuwan di lingkungan religious studies. Mereka berangkat dari wilayah normative sehingga memiliki asumsi bahwa hanya wahyu yang mutlak benar, dan sains modern bersifat nisbi (hanya terukur).Agama menyediakan tolak ukur kebenaran ilmu (benar, salah), bagaimana ilmu diproduksi (baik, buruk), dan tujuan-tujuan ilmu (manfaat, merugikan).

Dalam lingkungan studi Islam, istilah epistemologi sering dipertukarkan dengan istilah pemikiran. Epistemologi adalah salah satu cabang filsafat yang membahas tentang hakikat pengetahuan manusia. Persoalan pokok yang berkembang dalam epistemologi adalah meliputi sumber-sumber pengetahuan, watak dari pengetahuan manusia, apakah pengetahuan itu benar (valid) ataukah tidak. Bagaimana pengetahuan manusia itu didapat, dengan cara apa dan apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi. Sehingga epistemologi sampai pada problem hubungan metodologi dengan obyek dari ilmu pengetahuan. Sedangkan pemikiran berasal dari kata pikir yang berarti akal budi, ingatan, angan-angan, sehingga pemikiran berarti proses, cara, perbuatan memikir.

Umat Islam mengakui bahwa hadits Nabi SAW dipakai sebagai pedoman hidup yang utama setelah al-Qur’an. Ajaran-ajaran Islam yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak dirinci menurut petunjuk dalil yang masih utuh, tidak diterangkan cara pengamalannya dan atau tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak dalam al-Qur’an, maka hendaknya dicarikan penyelesaiannya dalam hadits. Meski demikian, tetap saja ada yang orang yang menolak hadits sebagai sumber ajaran Islam di kalangan orang Islam. Mereka umumnya memahami bahwa adanya otoritas Nabi sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Qur’an tersebut menunjuk pada ucapan dan tindak tanduk Rasulullah di luar al-Qur’an. Terdapat sejumlah ulama dan intelektual Islam yang hanya menerima otoritas al-Qur’an seraya menolak otoritas hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam. Namun ada pula yang membatasi penggunaan hadits sebagai sumber ajaran Islam yang kedua.

Sumber hukum Islam adalah wahyu Allah SWT yang dituangkan di dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Jika kita telaah ayat-ayat Al-Qur'an yang berhubungan dengan hukum, ternyata ayat-ayat yang menunjukkan hukum-hukum yang agak terperinci hanyalah mengenai hukum ibadat dan hukum keluarga. Adapun hukum-hukum dalam arti luas, seperti masalah kebendaan, ekonomi, perjanjian, kenegaraan, tata negara dan hubungan internasional, pada umumnya hanya merupakan pedoman-pedoman dan garis besar. Penegasan Al-Qur'an terhadap Sunnah Rasul dalam beberapa ayat, ditujukan agar sunnah Rasul dapat menjadi perantara dan penjelas untuk dapat memahami ayat-ayat yang global tersebut. Rasulullah telah menjadi uswatun hasanah dalam melaksanakan ajaran Al-Qur'anulkarim.

Berikut ini dikemukakan ciri-ciri syariah AI-Qur'an yang dikemukakan Taufiqullah (1991: 48) yaitu sebagai berikut:

1. Al-Qur'an memberikan prinsip-prinsip umum tanpa mendetail dalam hal-hal yang mengatur ketergantungan manusia sesamanya dan antar manusia dengan alam, sehingga menjadikan fleksibelnya ajaran Islam untuk menuntun manusia yang hidup dalam berbagai ras dan bangsa serta sepanjang masa. Prinsip yang merupakan keharusan bagi suatu ajaran yang bersifat universal dan eternal (abadi).

2. Al-Qur'an mengadakan peraturan-peraturan terperinci dalam hal-hal yang tidak terpengaruh oleh perkembangan masyarakat manusia. Misalnya ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum waris, wudlu dan tayamum.

Selanjutnya, mengenai prinsip syariah Al-Qur'an, Taufiqullah (1991: 49), mengemukakan sebagai berikut:

1.    Tidak memberatkan.

2.    Sangat sedikit mengadakan kewajiban secara terperinci, yaitu memerintah dan melarang.

3.    Syariah datang dengan prinsip graduasi (berangsur-angsur), bukan secara sekaligus.

Adapun mengenai macam-macam hukum dalam Al-Qur'an, di sini dikemukakan bahwa hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur'an itu ada 3 macam, yaitu:

1.  Hukum-hukum i'tiqodah. Yakni hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para mukallaf untuk mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir.

2.  Hukum-hukum akhlak. Yakni tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban orang mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan dirinya dari sifat-sifat yang tercela.

3. Hukurn-hukurn arnaliah. Yakni yang bersangkutan dengan perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, perjanjian-perjanjian dan muamalah (kerjasama) sesama manusia.

Adapun fungsi Al-Qur'an meliputi hal-hal sebagai berikut:

1.    Petunjuk untuk manusia

2.    Keterangan-Keterangan

3.    Rahmat dan hidayah bagi alam semesta

4.    Mu'jizat bagi Nabi Muhammad SAW

5.    Pengajaran dari Allah SWT

6.    Obat penyakit hati

7.    Penguat dan penutup adanya kitab-kitab suci sebelumnya

Umat Islam menyepakati bahwa hadits Nabi Muhammad merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an bahkan hadits dapat berdiri sendiri sebagai sumber ajaran. Kedudukan hadis sebagai sumber ajaran Islam didasarkan pada keterangan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajibnya mengikuti hadis baik pada Rasulullah masih hidup maupun setelah wafat. Keberadaan hadits sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, selain ketetapan Allah yang dipahami dari ayatnya secara tersirat juga merupakan ijma’ (konsensus) seperti terlihat dalam perilaku para sahabat. Ijma’ umat Islam untuk menerima dan mengamalkan sunnah sudah ada sejak zaman Nabi, para Khulafa al-Rasyidin dan para pengikut mereka. Hal ini terlihat misalnya, penjelasan Usman bin Affan mengenai etika makan dan cara duduk dalam shalat, seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Begitu juga, Umar bin Khattab mencium Hajar Aswad karena mengikuti jejak Rasul.

Ada 3 fungsi hadits terhadap al-Qur’an dalam pandangan Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib sebagaimana dikutip oleh Syahrin Harahap, diantaranya:

1.    Hadits berfungsi memperkuat apa yang dibawa al-Qur’an

2.    Hadits berfungsi memperjelas atau memperinci apa yang telah digariskan dalam al-Qur’an

3.  Hadits berfungsi menetapkan hukum yang belum diatur dalam al-Qur’an.

Posisi Islam Sebagai Ilmu Pengetahuan

Menurut Ensiklopedia Indonesia, ilmu pengetahuan adalah suatu sistem dari berbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksaaan-pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan menggunakan metode-metode tertentu. Ilmu pengetahuan prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematiskan common sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, namun dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.

Ilmu pengetahuan diambil dari kata bahasa Inggris “science” , yang berasal dari bahasa Latin “scientia” dari bentuk kata kerja “scire” yang berarti mempelajari, mengetahui. Ilmu pengetahuan adalah suatu proses pemikiran dan analisis yang rasional, sistematik, logis, dan konsisten.

Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.

Konsep Islam (Timur), semua yang dipikirkan, dikehendaki, dirasakan dan diyakini, membawa manusia kepada pengetahuan dan secara sadar menyusunnya ke dalam sistem yang disebut Ilmu. Tetapi berbeda dengan konsep Barat, yang mengelompokkan ilmu itu kepada tiga:

1.    Natural Sciences (ilmu-ilmu kealaman, murni, biologi, fisika, kimia dan lainnya).

2. Social Sciences (ilmu- ilmu kemasyarakatan yang menyangkut perilaku manusia dalam interaksinya dalam masyarakat.

3.  The Humanities (humaniora), ialah ilmu-ilmu kemanusiaanyang menyangkut kesadaran akan perasaan kepribadian dan nilai- nilai yang menyertainya sebagai manusia.

Islam mengandung multi-disipliner ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu alam (natural sciences) seperti fisika, kimia, matematika, biologi, astronomi, arkeologi dan botani. Ilmu-ilmu sosial (social sciences) seperti sosiologi, ekonomi, hukum, pendidikan, politik, antropologi dan sejarah. Serta Humaniora seperti psikologi dan filsafat. Dengan demikian, berarti Islam mempunyai ajaran yang lengkap, integral, dan universal. Kelengkapan inilah sehingga Islam mampu menampung segala persoalan dan dapat mengikuti kemajuan ilmu penetahuan dan teknologi.

Adanya penyatuan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai agama, dalam hal ini ajaran Islam, maka wawasan ilmu tidak lagi dipisahkan secara dikotomis dalam pembagian ilmu-ilmu agama dan non agama, tetapi akan dibedakan (bukan dipisahkan) menjadi ilmu yang menyangkut ayat-ayat qauliyah (ayat-ayat yang tersurat dalam Al-Qur’an dan Hadis) dan ilmu-ilmu tentang ayat kauniyah (ilmu-ilmu tentang kealaman).

Berbagai cabang ilmu dan bentuk-bentuk ilmu pengetahuan dipandang dari perspektif Islam pada akhirnya adalah satu. Dalam Islam sebenarnya tidak dikenal pemisahan esensial antara ilmu agama dengan ilmu umum. Berbagai disiplin ilmu dan perspektif intelektual yang dikembangkan dalam Islam memang mengandung hierarki tertentu, tetapi hierarki itu pada akhirnya bermuara pada pengetahuan tentang hakikat Yang Maha Tunggal yang merupakan substansi dari segenap ilmu. Inilah yang menjadi alasan kenapa para pemikir dan ilmuwan muslim berusaha mengintegrasikan ilmu-ilmu yang dikembangkan peradaban-peradaban non-Muslim ke dalam hierarki ilmu pengetahuan menurut Islam.

Ilmu pengetahuan dalam Islam dicapai melalui tiga sumber atau alat seperti indra, akal budi, dan hati. Maka dalam epistemologi barat, pengetahuan ilmiah hanya bisa diraih melalui indra dan akal. Sains hanya membatasi diri pada objek-objek empiris, fisik, materi, dan eksternal. Dengan kata lain, sains hanya akan berurusan dengan objek-objek yang teramati oleh indra. sains Barat hanya membenarkan pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah, dengan melibatkan proses verifikasi dan pengukuran secara matematis, verbal, empiris.

Menurut pandangan Islam, kriteria keterpujian suatu bidang ilmu adalah kebergunaannya, dan ini berarti bidang ilmu tersebut mampu membawa manusia kepada Tuhan. Bidang ilmu apapun yang memiliki ciri semacam ini adalah terpuji, dan usaha untuk memperolehnya adalah bentuk ibadah.

Adanya pengetahuan ilmiah dapat memperluas cakrawala keyakinan religius dan bahwa perspektif keyakinan religius dapat memperdalam pemahaman kita tentang alam semesta. Kajian tentang alam direkomendasikan untuk menemukan pola-pola Tuhan di alam semesta dan memanfaatkannya demi kemaslahatan umat manusia.

Konteks dinamika dunia modern, misi Islam yang utama berarti harus membebaskan manusia dari kurungan, bermacam aliran pemikiran dan filsafat yang menganggap manusia tidak mempunyai kemerdekaan dan hidup dalam absunditas. Agama Islam sesuai dengan fitrah manusia, maka dari itu jelas bahwa Islam memberi dasar yang cukup kepada manusia untuk hidup berkebudayaan. Disamping urusan akhirat, urusan dunia pun mendapat perhatian yang besar.

Memberikan gambaran bahwa Islam itu agama yang lengkap sebagai dasar sumber kebudayaan dapatlah dibuktikan bahwa isi Al-Qur’an itu meliputi segala persoalan hidup dan kehidupan, diantaranya:

1.        Dasar-dasar kepercayaan dan ideologi

2.        Hikmah dan filsafat

3.        Budi Pekerti, kesenian, dan kesastraan

4.        Sejarah umat dan biografi Nabi-Nabi

5.        Undang-undang masyarakat

6.        Kenegaraan dan pemerintahan

7.        Kemiliteran dan Undang-Undang Peperangan

8.        Hukum perdata (muamalat)

9.        Hukum pidana (jinayat)

10.    Undang-undang alam dan tabiat.

Demikian integrasi antara Islam dan humaniora semacam ini, sesungguhnya menyediakan basis filsafat untuk mengkaji kehampaan spiritual yang merupakan produk dunia perkembangan IPTEK.

Posisi Islam Sebagai Budaya

Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya dengan segala heterogenitasnya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas yaitu Islam sebagai konsespsisosial budaya, dan Islam sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi lokal) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam.

Agama yang dibudayakan adalah ajaran suatu agama yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh penganutnya sehingga menghasilkan suatu karya/budaya tertentu yang mencerminkan ajaran agama yang dibudayakannya itu. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa membudayakan agama berarti membumikan dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Memandang agama bukan sebagai peraturan yang dibuat oleh Tuhan untuk menyenangkan Tuhan, melainkan agama itu sebagai kebutuhan manusia dan untuk kebaikan manusia. Adanya agama merupakan hakekat perwujudan Tuhan.

Bagi umat Islam, peran sejarah bangsa Persia dalam membangun dan mengembangkan peradaban dan kebudayaan Islam adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. Bahkan menurut Ibnu Khaldūn, Mas’ūdī dan George Zeydan, tiga sejarawan kenamaan dalam Islam, sebagian besar ilmuan dunia Islam berasal dari negeri Persia. Di antara kontribusi Persia terhadap peradaban Islam, sufisme Persia dapat dikatakan merupakan salah satu yang terbesar.

Tesis paling dasar untuk membuktikan bahwa ada pengaruh Persia dalam budaya Islam Indonesia adalah pandangan bahwa masuknya Islam ke Indonesia adalah melalui Persia, atau dari Gujarat India yang sudah terpengaruh oleh Persia. Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 M dan pembawanya berasal dari Persia. Dasar teori ini adalah beberapa kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia. Pendukung teori ini antara lain adalah P. A. Hoessein Djajadiningrat.

Ada sangat banyak variabel budaya yang hidup di kalangan umat Islam Indonesia yang merupakan “serapan” dari budaya luar, termasuk Persia, mungkin juga India, Arab dan bahkan Jawa atau Melayu, namun tidak banyak orang yang mengenali dan bahkan tidak banyak ilmuwan yang tertarik dalam bidang ini. Perkembangan budaya Persia hingga merambah Indonesia, khususnya Islam yang bercorak sufistik, sebenarnya bukan sesuatu yang aneh dan luar biasa, karena di abad-abad pertama, semua perkembangan penting dalam dunia tasawwuf secara geografis berkaitan dengan Persia.

Sufisme adalah salah satu karakteristik dalam sastra Persia. Di Persia Tasawuf tumbuh subur pada abad 10 M yang nampak awal dalam karya Abū Ḥasan al-Kharqani dan Abū Yazīd al-Busṭāmī, akan tetapi tasawuf dalam bentuk puisi dan syair mulai berkembang dan disempurnakan pada abad 11 oleh penyair Abū Sa’īd Aba al-Khair di kota Khurasān, propinsi bagian timur laut Iran sekarang. Sastra sufistik ini kemudian berkembang pesat melalui tangan penyair-penyair Persia selanjutnya seperti Sanai, ‘Aṭṭār dan Jalāluddīn Rūmī yang mengantarkan sastra mistik Persia ke puncaknya melalui karya besarnya Matsnawi Ma’nawi. Di Indonesia sendiri sastra sufi baru dikenal pada abad 16, yang menurut Abdul Hadi W.M  dikenalkan oleh para penyair melayu seperti Hamzah Fansuri yang hidup di pertengahan abad 16 sampai awal abad 17 M dan oleh beberapa orang muridnya seperti Abdul Jamal, Abdurrahman Singkel dan Samsuddin Pasai. Karya-karya mereka seperti yang disimpulkan oleh para ilmuwan banyak sekali pengaruh dari sastra sufistik Persia.

Keberadaan Islam di Indonesia secara historis tidak terlepas dari sejarah Islam masuk Pertama kali di Tanah Jawa. Bahwa masuknya Islam di Jawa Pertama kali dibawa oleh Syeh Maulana Malik Ibrahim dan sebagai pendiri Pondok Pesantren Pertama di Indonesia. Para ahli berpendapat bahwa sekitar tahun 1416 M agama Islam sudah mulai dikenal oleh masyarakat Jawa. Pada masa itu, masyarakat Jawa pada umumnya adalah penganut animisme dan dinamisme yang juga sebagai pemeluk agama Hindu/Budha dan berada dibawah pemerintahan kerajaan Majapahit.

Adanya kepercayaan animisme/dinamisme. Dimana orang-orang Islam yang ada di Jawa masih percaya dengan hal tersebut. budaya Jawa menyangkut masalah keyakinan, seperti keyakinan akan adanya sesuatu yang dianggap ghaib dan memiliki kekuatan seperti Tuhan, dan juga menyangkut masalah perilaku ritual, seperti melakukan persembahan dan berdoa kepada Tuhan dengan berbagai cara tertentu, misalnya dengan sesaji atau dengan berdoa melalui perantara. Pada prinsipnya masyarakat Jawa adalah masyarakat yang religius, yakni masyarakat yang memiliki kesadaran untuk memeluk suatu agama. Hampir semua masyarakat Jawa meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang menciptakan manusia dan alam semesta serta yang dapat menentukan celaka atau tidaknya manusia di dunia ini atau kelak di akhirat. Yang perlu dicermati dalam hal ini adalah bagaimana mereka meyakini adanya Tuhan tersebut.

Masyarakat Jawa kontemporer dengan sejumlah kelompok sosio-religiusnya yang rumit, yang terdiri atas:

1. Abangan, atau mereka yang masih menitik beratkan unsur animistis dari keseluruhan sinkritisme Jawa dan berkaitan erat dengan elemen petani.

2. Santri, yang menekankan unsur sinkritisme Islami dan umumnya berkaitan dengan elemen pedagang dan dengan elemen petani tertentu.

3.   Priyayi, yang menitik beratkan unsur Hinduisme dan berkaitan dengan elemen-elemen birokrat.

Bagi kalangan masyarakat Jawa yang santri, hampir tidak diragukan lagi bahwa yang mereka yakini sesuai dengan ajaran-ajaran aqidah Islam. Mereka meyakini bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan mereka menyembah Allah dengan cara yang benar. Sementara bagi kalangan masyarakat Jawa yang abangan, Tuhan yang diyakini bisa bermacam-macam. Ada yang meyakini-Nya sebagai dewa dewi seperti dewa kesuburan (Dewi Sri) dan dewa penguasa pantai selatan (Ratu Pantai Selatan). Ada juga yang meyakini benda-benda tertentu dianggap memiliki ruh yang berpengaruh dalam kehidupan mereka seperti benda-benda pusaka (animisme), bahkan mereka meyakini benda-benda tertentu memiliki kekuatan ghaib yang dapat menentukan nasib manusia seperti makam orangorang tertentu (dinamisme).Meskipun bertujuan minta kepada Tuhan (Allah), tetapi menempuh cara yang bertentangan dengan ajaran syariah Islam karena syariah Islam mengatur masalah ibadah (ibadah mahdlah) dengan tegas dan tidak dapat ditambah-tambah atau dikurangi.

Bagi kebanyakan orang, ada anggapan bahwa sebagian adat kebiasaan dan tradisi keagamaan yang di lakukan kalangan muslim tradisional, khususnya di Jawa, adalah pencampur-adukan antara ajaran Hindu-Buddha dengan Islam. Sebagai contoh, tradisi keagamaan tentang kenduri dan memperingati orang mati pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke 1000, padahal dalam agama Hindu dan Buddha tidak dikenal kenduri peringatan orang mati pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000. Menurut Agus Sunyoto, apabila ditelusuri dari fakta sosio-kultural religius pada masyarakat Jawa pasca Majapahit, ternyata upacara peringatan orang mati pada hari ke 3, ke 7, ke 40, ke 100, dan ke 1000 termasuk haul adalah tradisi khas Campa yang terpengaruh faham Syi’ah.

Posisi Islam Sebagai Agama

Islam dilihat dari sisi bahasa berarti damai, sejatera, patuh, dan tunduk. Oleh karena itu, orang Islam seharusnya mampu menebarkan kedamaian dan kesejahteraan, disamping itu orang Islam akan selalu patuh dan tunduk terhadap tuntunan syari'at Islam. Adapun secara terminologis seorang muslim adalah orang yang mampu menebarkan kedamaian untuk dirinya dan orang lain, baik dengan ucapan dan juga perbuatannya. Seorang muslim dituntut agar mampu berkomunikasi yang menyejukkan semua pihak termasuk dengan orang yang tidak seagama, demikian juga aktivitasnya tidak akan menyakiti dan melukai dirinya dan orang lain.

Syari'at Islam hadir muka bumi dalam rangka rahmatan lil alamin artinya akan memberi kesejukan kepada siapa pun termasuk bagi masyarakat non muslim dengan syarat mereka mau berdampingan dan hidup rukun, damai, dan saling menghargai. Akan tetapi, jika aktivitas mereka merongrong keharmonisan, maka aktivitasnya perlu diluruskan kembali, agar rasa aman tetap dapat dinikmati masyarakat.

Syari'at Islam memberikan aturan hukum pidana terhadap para terpidana yang dengan sengaja melanggar hukum dan diyakini secara nyata sebagai pelakunya, sebab bagi tersangka pelaku yang kurang memenuhi syarat, atau kurang memiliki alat bukti tidak boleh dikenai hukuman. Hal ini karena perinsip eksekusi dalam hukum Islam adalah tidak boleh diterapkan hukuman “hudud” jika terdapat syubhat (keraguan) dan perinsip "keliru memaafkan lebih baik daripada keliru dalam menghukum.

Jamâl al-Bannâ mencetuskan bahwa Islam adalah agama dan umat bukan agama dan negara karena watak negara yang hegemonik. Bagi Jamâl, kekuasaan, diakui atau tidak, mampu merusak ideologi (aqîdah).menurut Jamâl al-Bannâ Islam hadir tanpa membedakan suku, ras manusia, laki-laki maupun perempuan. Semua diciptakan untuk menjadi khalîfah fî al-ard (pemimpin di bumi).

Islam sebagai agama sangat tidak mungkin dikorelasikan dengan sebuah kekuatan (al-sultah), karena kekuatan tersebut akan selalu mendistorsi dan mengeksploitasi akidah tertentu. Oleh karenanya, ide negara Islam akan sangat kontras dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Bagi Jamâl, ide yang benar adalah “ummah muslimah” (umat yang tunduk), di mana umat yang tunduk tersebut dengan sendirinya akan mengasosiasikan dalam nilai-nilai Islami sebagai tujuan bermasyarakat dan bernegara. Standar hukum negara adalah al-Qur’ân yang memuat prinsip keadilan sebagai tujuannya.

Adapun isyarat al-Qur’ân mengenai sistem pemerintahan itu sendiri dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.  Al-Qur’ân menjadikan para rasulnya sebagai pendakwah, penyampai risalah Tuhan tanpa ada satu otoritas mutlak untuk memaksakan satu kepercayaan tertentu kepada orang lain.

2.  Al Qur’ân tidak pernah menyebut kata dawlah (negara) sebagai ilustrasi sistem pemerintahan. Penyebutan dawlah dalam al-Qur’ân hanya sekali dan maknanya lebih kepada “sirkulasi kekayaan” (tadâwul al-tharwah). Sebagai gantinya, al-Qur’ân lebih familiar dengan bahasa “ummah” ketika harus mengasosiasikan sebuah kekuasaan.

3.  Kata hukum dalam al-Qur’ân sebenarnya bukan deskripsi politik. Karena hukum merupakan otoritas Tuhan yang di dalamnya terdapat dua pilihan antara mengikuti atau mengabaikan.

4.  Al-Qur’ân mengusung shûrâ sebagai bagian dari sistem sebuah negara dan menegasi model teokrasi, monarki dan sikap individualis dalam sistem pemerintahan.

5. Al-Qur’ân mengibaratkan bahwa hidup bermewah-mewahan adalah salah satu faktor kemerosotan sebuah negara.

6.  Al-Qur’ân melihat bahwa kekuatan sistem perundang-undangan terletak kepada keadilan. Allah berfirman di dalamnya wa idhâhakamtum bayn al-nâs an tahkumû bi al-‘adl.

7.    Keadilan bukan proporsi hukum semata namun lebih dari itu ia basis episteme sharî‘ah juga.

Adapun nilai-nilai global yang diasosiasikan al-Qur’ân dalam pandangan Jamâl al-Bannâ tentang sistem pemerintahan dan yang sudah dipraktikkan Nabi SAW terhadap negara Madinah dan al-Khulafâ‘ al-Râshidûn pada era Abû Bakar dan ‘Umar bin Khattâb, antara lain:

1.   Sistem pemerintahan harus tunduk pada independensi hukum, antara lain:

a.    Negara tidak boleh diktator atau dikuasai oleh partai-partai tertentu.

b.    Tidak ada seseorang pun yang berada di atas hukum atau bahkan kebal terhadapnya.

c.    Tidak ada perbedaan di depan supremasi hukum.

d.    Tidak ada hukum yang diperjual belikan.

e.    Tidak ada hukum lain selain hukum yang menaungi umat yang ada.

2. Walaupun undang-undang sebuah negara terinspirasi dari prinsip-prinsip yang terdapat dalam al-Qur’ân namun soliditas umat mutlak di atas segalanya. Al-Qur’ân adalah undang-undang, akan tetapi baik pemahaman maupun wilayah praksis mutlak di tangan umat seutuhnya.

3.   Mengikuti aturan al-Qur’ân bukan berarti mengikuti aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh para ahli tafsîr, ahli h}adîth atau bahkan ahli fiqh sekalipun. Akan tetapi harus mengikuti aturan yang terpercaya dari al-Qur’ân itu sendiri tanpa berusaha menyimpang dari kandungan al-Qur’ân yang sebenar-benarnya.

4. Prinsip shûrâ (musyawarah) adalah salah satu elemen penunjang bagi terciptanya sebuah kemaslahatan, dan tidak diperkenankan pengambilan sebuah kesimpulan terlahir dari egoisme tanpa melalu prosesi musyawarah.

5.  Tujuan tertinggi dari sebuah negara adalah unsur keadilan di dalamnya, khususnya keadilan ekonomi pada masyarakat. Adapun tujuan-tujuan dari negara antara lain:

a.    Memenuhi kebutuhan masyarakat

b.    Memberikan keamanan dan kenyamanan

c.    Mengembangkan ilmu pengetahuan

d.    Menyebarkan nilai peradaban Islam seperti kebebasan, persamaan, kebaikan, dan keadilan.

e.    Menguatkan perekonomian.

f.     Saling membantu dengan umat Islam di negara lain. 

Adapun pandangan Jamâl al-Bannâ tentang pluralisme biasa merujuk kepada ayat-ayat al-Qur’ân mengenai sikap wasatîyah (moderat) sebagai sikap pilihan masyarakat Islam di tengah himpitan beberapa aliran yang ada baik aliran kanan, kiri, Barat ataupun Timur. Di samping itu, pluralitas adalah bagian dari kehendak Allah dan Ia menciptakan berbagai variabelnya agar pluralitas tidak mengalami benturan. Oleh karena itu, tauhid murni adalah meyakini bahwa keesaan hanya milik Allah dan pluralisme adalah prinsip dasar masyarakat. Al-Qur’ân tidak hanya mengisyaratkan pluralisme secara global, bahkan al-Qur’ân menanamkan kaidah-kaidah mendasar bagi kenyataan pluralisme. Kaidah-kaidah itu kemudian mencapai klimaksnya ketika al-Qur’ân yang menegaskan adanya pluralistas agama yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya di dalam hidup ini.

Agama Bagi Manusia

Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Agama akan memelihara manusia dari penyimpangan, kesalahan dan menjauhkannya dari tingkah laku yang negatif. Bahkan agama akan membuat hati manusia menjadi jernih, halus dan suci.

Agama adalah sistem keyakinan atau kepercayaan manusia terhadap sesuatu zat yang dianggap Tuhan. Keyakinan terhadap suatu zat yang dianggap Tuhan itu diperoleh manusia berdasarkan yang bersumber dari pengetahuan diri. Agama juga didefinisikan sebagai sistem kepercayaan, yang di dalamnya meliputi aspek-aspek hukum, moral dan budaya.

Agama merupakan suatu hal yang harus di ketahui makna yang terkandung di dalamnya, dan agama tersebut berpijak kepada suatu kodrat kejiwaan yang berupa keyakinan, sehingga dengan demikian, kuat atau rapuhnya Agama bergantung kepada sejauh mana keyakinan itu tertanam dalam jiwa.

Agama adalah ajaran yang berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang terkandung dalam kitab suci yang turun temurun diwariskan oleh suatu generasi ke generasi dengan tujuan untuk memberi tuntunan dan pedoman hidup bagi manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat yang di dalamnya mencakup unsur kepercayaan kepada kekuatan gaib yang selanjutnya menimbulkan respon emosional dan keyakinan bahwa kebahagiaan hidup tersebut tergantung pada adanya hubungan yang baik dengan kekuatan gaib tersebut. Agama juga merupakan peraturan yang menghindarkan manusia dari kekacauan serta mengantar mereka hidup dalam keteraturan dan ketertiban.

Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap suatu yang bersifat adikodrati (supernatural) dan seakan-akan menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupan  yang luas. Agama juga memiliki nilai-nilai bagi kehidupan secara individu maupun dalam hubungannya dengan kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Selain itu agama juga memberi dampak kepada kehidupan sehari-hari.

Secara psikologi, agama dapat berfungsi sebagai motif intrinsik (dalam diri) dan motif ekstrinsik (luar diri) dan motif yang didorong keyakinan agama dinilai memiliki kekuatan yang mengagumkan dan sulit ditandingi oleh keyakinan nonagama baik doktrin maupun ideologi. Agama menurut sosiologi adalah definisi yang empiris. Sosiologi tidak pernah memberikan definisi agama yang evaluative (menilai), sosiologi hanya sanggup memberikan definisi deskriptif (menggambarkan apa adanya) yang mengungkapkan apa yang dimengerti dan dialami pemeluk-pemeluknya.

Manusia merupakan mahluk hidup yang paling sulit dimengerti meskipun oleh dirinya sendiri. Manusia adalah mahluk yang tidak bisa ditebak, namun rasional. Manusia juga memiliki fisik yang baik seperti halnya mahluk hidup lainnya. Manusia juga memiliki akal sehingga dia dapat menciptakan hal-hal yang luar biasa meskipun secara fisik dia tidak mampu melakukannya. kepada Tuhan. Menurut agama Islam, manusia diciptakan di bumi untuk beribadah kepada Allah. Selain itu, manusia diciptakan di bumi sebagai khalifah atau pemimpin di bumi. Manusia membutuhkan agama karena hal tersebut merupakan fitrah manusia. Fitrah tersebutlah yang menyebabkan manusia berhubungan dengan agama untuk mencari jati dirinya.

Tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah Allah dan menjadi khalifah ardi. Agama memiliki tujuan untuk menjadikan manusia melakasankan segala peran yang diperintahkan Allah. Sehingga agama mengatur segala sendi kehidupan manusia dan dapat dikatakan agama merupakan pengatur manusia untuk menjalankan perannya di muka bumi.

Agama memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan masyarakat, karena agama memberikan sebuah sistem nilai yang memiliki derivasi pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam mengatur pola perilaku manusia, baik di level individu dan masyarakat.

Hubungan agama dan masyarakat menyajikan sebuah dilema fundamental yang bisa di kedepankan dalam tiga aspek yaitu:

1.  Agama melibatkan manusia pada situasi akhir di titik mana lahir kesadaran akan hal tertinggi. Disini masalah makna tertinggi dan kedudukan manusia dalam segala rencana tampil ke permukaan.

2.  Agama menyangkut hal suci, karena itu agama berkenaan dengan pemahaman dan tanggapan khusus yang membutuhkan keluhuran pandang atas obyeknya.

3. Agama dilandaskan pada keyakinan, karena itu obyeknya supraempiris (luar biasa) dan ajarannya tidak mungkin diperagakan atau dibuktikan secara empiris.

Fungsi agama dalam masyarakat antara lain :

1.   Berfungsi Edukatif.

Para penganut agama berpendapat bahwa ajaran agama yang mereka anut memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi.

2.   Berfungsi Penyelamat.

Keselamatan yang diajarkan oleh agama adalah keselamatan yang meliputi bidang luas.

3.   Berfungsi Sebagai Pendamaian.

Melalui agama seseorang yang bersalah/berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan agama.

4.   Berfungsi Sebagai Kontrol Sosial.

Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawasan social secara individu maupun kelompok karena :

a.    Agama secara instansi, merupakan norma bagi pengikutnya.

b.    Agama secara ajaran mempunyai fungsi kritis yang bersifat profetis (wahyu, kenabian).

c.    Berfungsi Sebagai Pemupuk Rasa Solidaritas

d.    Berfungsi Tranformatif

5.   Fungsi memupuk Persaudaraan.

Kesatuan persaudaraan berdasarkan kesatuan sosiologis ialah kesatuan manusia-manusia yang didirikan atas unsur kesamaan.

6.   Fungsi transformatif.

Fungsi transformatif disini diartikan dengan mengubah bentuk kehidupan baru atau mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru yang lebih bermanfaat. Secara umum ada enam fungsi agama dan masyarakat yaitu:

a.    Sebagai pendukung, pelipur lara, dan perekonsiliasi.

b.    Sarana hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara Ibadat.

c.    Penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada.

d.    Pengoreksi fungsi yang sudah ada.

e.    Pemberi identitas diri.

f.     Pendewasaan agama.

7.   Berfungsi Sublimatif.

Ajaran agama Islam mengfokuskan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat ukhrawi melainkan juga yang bersifat duniawi.