Islam
dilihat dari sisi bahasa berarti damai, sejatera, patuh, dan tunduk. Oleh karena
itu, orang Islam seharusnya mampu menebarkan kedamaian dan kesejahteraan, disamping
itu orang Islam akan selalu patuh dan tunduk terhadap tuntunan syari'at Islam.
Adapun secara terminologis seorang muslim adalah orang yang mampu menebarkan
kedamaian untuk dirinya dan orang lain, baik dengan ucapan dan juga perbuatannya.
Seorang muslim dituntut agar mampu berkomunikasi yang menyejukkan semua pihak
termasuk dengan orang yang tidak seagama, demikian juga aktivitasnya tidak akan
menyakiti dan melukai dirinya dan orang lain.
Syari'at
Islam hadir muka bumi dalam rangka rahmatan lil alamin artinya akan memberi
kesejukan kepada siapa pun termasuk bagi masyarakat non muslim dengan syarat
mereka mau berdampingan dan hidup rukun, damai, dan saling menghargai. Akan
tetapi, jika aktivitas mereka merongrong keharmonisan, maka aktivitasnya perlu
diluruskan kembali, agar rasa aman tetap dapat dinikmati masyarakat.
Syari'at
Islam memberikan aturan hukum pidana terhadap para terpidana yang dengan
sengaja melanggar hukum dan diyakini secara nyata sebagai pelakunya, sebab bagi
tersangka pelaku yang kurang memenuhi syarat, atau kurang memiliki alat bukti tidak
boleh dikenai hukuman. Hal ini karena perinsip eksekusi dalam hukum Islam
adalah tidak boleh diterapkan hukuman “hudud” jika terdapat syubhat
(keraguan) dan perinsip "keliru memaafkan lebih baik daripada keliru dalam
menghukum.
Jamâl
al-Bannâ mencetuskan bahwa Islam adalah agama dan umat bukan agama dan negara
karena watak negara yang hegemonik. Bagi Jamâl, kekuasaan, diakui atau tidak,
mampu merusak ideologi (aqîdah).menurut Jamâl al-Bannâ Islam hadir tanpa
membedakan suku, ras manusia, laki-laki maupun perempuan. Semua diciptakan
untuk menjadi khalîfah fî al-ard (pemimpin di bumi).
Islam
sebagai agama sangat tidak mungkin dikorelasikan dengan sebuah kekuatan (al-sultah),
karena kekuatan tersebut akan selalu mendistorsi dan mengeksploitasi akidah
tertentu. Oleh karenanya, ide negara Islam akan sangat kontras dengan
nilai-nilai Islam itu sendiri. Bagi Jamâl, ide yang benar adalah “ummah muslimah”
(umat yang tunduk), di mana umat yang tunduk tersebut dengan sendirinya akan
mengasosiasikan dalam nilai-nilai Islami sebagai tujuan bermasyarakat dan
bernegara. Standar hukum negara adalah al-Qur’ân yang memuat prinsip keadilan
sebagai tujuannya.
Adapun
isyarat al-Qur’ân mengenai sistem pemerintahan itu sendiri dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Al-Qur’ân
menjadikan para rasulnya sebagai pendakwah, penyampai risalah Tuhan tanpa ada
satu otoritas mutlak untuk memaksakan satu kepercayaan tertentu kepada orang
lain.
2. Al
Qur’ân tidak pernah menyebut kata dawlah (negara) sebagai ilustrasi sistem
pemerintahan. Penyebutan dawlah dalam al-Qur’ân hanya sekali dan maknanya lebih
kepada “sirkulasi kekayaan” (tadâwul al-tharwah). Sebagai gantinya,
al-Qur’ân lebih familiar dengan bahasa “ummah” ketika harus
mengasosiasikan sebuah kekuasaan.
3. Kata
hukum dalam al-Qur’ân sebenarnya bukan deskripsi politik. Karena hukum
merupakan otoritas Tuhan yang di dalamnya terdapat dua pilihan antara mengikuti
atau mengabaikan.
4. Al-Qur’ân
mengusung shûrâ sebagai bagian dari sistem sebuah negara dan menegasi model
teokrasi, monarki dan sikap individualis dalam sistem pemerintahan.
5. Al-Qur’ân
mengibaratkan bahwa hidup bermewah-mewahan adalah salah satu faktor kemerosotan
sebuah negara.
6. Al-Qur’ân
melihat bahwa kekuatan sistem perundang-undangan terletak kepada keadilan.
Allah berfirman di dalamnya wa idhâhakamtum bayn al-nâs an tahkumû bi
al-‘adl.
7. Keadilan bukan proporsi hukum semata namun lebih dari itu ia basis episteme sharî‘ah juga.
Adapun
nilai-nilai global yang diasosiasikan al-Qur’ân dalam pandangan Jamâl al-Bannâ
tentang sistem pemerintahan dan yang sudah dipraktikkan Nabi SAW terhadap
negara Madinah dan al-Khulafâ‘ al-Râshidûn pada era Abû Bakar dan ‘Umar bin
Khattâb, antara lain:
1. Sistem
pemerintahan harus tunduk pada independensi hukum, antara lain:
a.
Negara
tidak boleh diktator atau dikuasai oleh partai-partai tertentu.
b.
Tidak
ada seseorang pun yang berada di atas hukum atau bahkan kebal terhadapnya.
c.
Tidak
ada perbedaan di depan supremasi hukum.
d.
Tidak
ada hukum yang diperjual belikan.
e.
Tidak
ada hukum lain selain hukum yang menaungi umat yang ada.
2. Walaupun
undang-undang sebuah negara terinspirasi dari prinsip-prinsip yang terdapat
dalam al-Qur’ân namun soliditas umat mutlak di atas segalanya. Al-Qur’ân adalah
undang-undang, akan tetapi baik pemahaman maupun wilayah praksis mutlak di
tangan umat seutuhnya.
3. Mengikuti
aturan al-Qur’ân bukan berarti mengikuti aturan-aturan yang sudah ditetapkan
oleh para ahli tafsîr, ahli h}adîth atau bahkan ahli fiqh sekalipun. Akan
tetapi harus mengikuti aturan yang terpercaya dari al-Qur’ân itu sendiri tanpa
berusaha menyimpang dari kandungan al-Qur’ân yang sebenar-benarnya.
4. Prinsip
shûrâ (musyawarah) adalah salah satu elemen penunjang bagi terciptanya
sebuah kemaslahatan, dan tidak diperkenankan pengambilan sebuah kesimpulan
terlahir dari egoisme tanpa melalu prosesi musyawarah.
5. Tujuan
tertinggi dari sebuah negara adalah unsur keadilan di dalamnya, khususnya
keadilan ekonomi pada masyarakat. Adapun tujuan-tujuan dari negara antara lain:
a.
Memenuhi
kebutuhan masyarakat
b.
Memberikan
keamanan dan kenyamanan
c.
Mengembangkan
ilmu pengetahuan
d.
Menyebarkan
nilai peradaban Islam seperti kebebasan, persamaan, kebaikan, dan keadilan.
e.
Menguatkan
perekonomian.
f. Saling membantu dengan umat Islam di negara lain.
Adapun
pandangan Jamâl al-Bannâ tentang pluralisme biasa merujuk kepada ayat-ayat
al-Qur’ân mengenai sikap wasatîyah (moderat) sebagai sikap pilihan
masyarakat Islam di tengah himpitan beberapa aliran yang ada baik aliran kanan,
kiri, Barat ataupun Timur. Di samping itu, pluralitas adalah bagian dari
kehendak Allah dan Ia menciptakan berbagai variabelnya agar pluralitas tidak
mengalami benturan. Oleh karena itu, tauhid murni adalah meyakini bahwa keesaan
hanya milik Allah dan pluralisme adalah prinsip dasar masyarakat. Al-Qur’ân tidak
hanya mengisyaratkan pluralisme secara global, bahkan al-Qur’ân menanamkan
kaidah-kaidah mendasar bagi kenyataan pluralisme. Kaidah-kaidah itu kemudian
mencapai klimaksnya ketika al-Qur’ân yang menegaskan adanya pluralistas agama yang
saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya di dalam hidup ini.