Sejak
awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya dengan
segala heterogenitasnya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan
norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila
dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas
yaitu Islam sebagai konsespsisosial budaya, dan Islam sebagai realitas budaya. Islam
sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan great
tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut
dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi
lokal) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi
Islam.
Agama
yang dibudayakan adalah ajaran suatu agama yang dimanifestasikan dalam
kehidupan sehari-hari oleh penganutnya sehingga menghasilkan suatu karya/budaya
tertentu yang mencerminkan ajaran agama yang dibudayakannya itu. Atau dengan
singkat dapat dikatakan bahwa membudayakan agama berarti membumikan dan
melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. Memandang agama bukan
sebagai peraturan yang dibuat oleh Tuhan untuk menyenangkan Tuhan, melainkan
agama itu sebagai kebutuhan manusia dan untuk kebaikan manusia. Adanya agama
merupakan hakekat perwujudan Tuhan.
Bagi
umat Islam, peran sejarah bangsa Persia dalam membangun dan mengembangkan peradaban
dan kebudayaan Islam adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. Bahkan menurut
Ibnu Khaldūn, Mas’ūdī dan George Zeydan, tiga sejarawan kenamaan dalam Islam,
sebagian besar ilmuan dunia Islam berasal dari negeri Persia. Di antara
kontribusi Persia terhadap peradaban Islam, sufisme Persia dapat dikatakan
merupakan salah satu yang terbesar.
Tesis
paling dasar untuk membuktikan bahwa ada pengaruh Persia dalam budaya Islam
Indonesia adalah pandangan bahwa masuknya Islam ke Indonesia adalah melalui
Persia, atau dari Gujarat India yang sudah terpengaruh oleh Persia. Teori ini
berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 M dan pembawanya berasal
dari Persia. Dasar teori ini adalah beberapa kesamaan budaya Persia dengan
budaya masyarakat Islam Indonesia. Pendukung teori ini antara lain adalah P. A.
Hoessein Djajadiningrat.
Ada
sangat banyak variabel budaya yang hidup di kalangan umat Islam Indonesia yang merupakan
“serapan” dari budaya luar, termasuk Persia, mungkin juga India, Arab dan
bahkan Jawa atau Melayu, namun tidak banyak orang yang mengenali dan bahkan
tidak banyak ilmuwan yang tertarik dalam bidang ini. Perkembangan budaya Persia
hingga merambah Indonesia, khususnya Islam yang bercorak sufistik, sebenarnya
bukan sesuatu yang aneh dan luar biasa, karena di abad-abad pertama, semua perkembangan
penting dalam dunia tasawwuf secara geografis berkaitan dengan Persia.
Sufisme
adalah salah satu karakteristik dalam sastra Persia. Di Persia Tasawuf tumbuh
subur pada abad 10 M yang nampak awal dalam karya Abū Ḥasan al-Kharqani dan Abū
Yazīd al-Busṭāmī, akan tetapi tasawuf dalam bentuk puisi dan syair mulai
berkembang dan disempurnakan pada abad 11 oleh penyair Abū Sa’īd Aba al-Khair
di kota Khurasān, propinsi bagian timur laut Iran sekarang. Sastra sufistik ini
kemudian berkembang pesat melalui tangan penyair-penyair Persia selanjutnya
seperti Sanai, ‘Aṭṭār dan Jalāluddīn Rūmī yang mengantarkan sastra mistik
Persia ke puncaknya melalui karya besarnya Matsnawi Ma’nawi. Di Indonesia
sendiri sastra sufi baru dikenal pada abad 16, yang menurut Abdul Hadi W.M dikenalkan oleh para penyair melayu seperti Hamzah
Fansuri yang hidup di pertengahan abad 16 sampai awal abad 17 M dan oleh
beberapa orang muridnya seperti Abdul Jamal, Abdurrahman Singkel dan Samsuddin
Pasai. Karya-karya mereka seperti yang disimpulkan oleh para ilmuwan banyak
sekali pengaruh dari sastra sufistik Persia.
Keberadaan
Islam di Indonesia secara historis tidak terlepas dari sejarah Islam masuk
Pertama kali di Tanah Jawa. Bahwa masuknya Islam di Jawa Pertama kali dibawa
oleh Syeh Maulana Malik Ibrahim dan sebagai pendiri Pondok Pesantren Pertama di
Indonesia. Para ahli berpendapat bahwa sekitar tahun 1416 M agama Islam sudah
mulai dikenal oleh masyarakat Jawa. Pada masa itu, masyarakat Jawa pada umumnya
adalah penganut animisme dan dinamisme yang juga sebagai pemeluk agama
Hindu/Budha dan berada dibawah pemerintahan kerajaan Majapahit.
Adanya
kepercayaan animisme/dinamisme. Dimana orang-orang Islam yang ada di Jawa masih
percaya dengan hal tersebut. budaya Jawa menyangkut masalah keyakinan, seperti
keyakinan akan adanya sesuatu yang dianggap ghaib dan memiliki kekuatan seperti
Tuhan, dan juga menyangkut masalah perilaku ritual, seperti melakukan
persembahan dan berdoa kepada Tuhan dengan berbagai cara tertentu, misalnya
dengan sesaji atau dengan berdoa melalui perantara. Pada prinsipnya masyarakat
Jawa adalah masyarakat yang religius, yakni masyarakat yang memiliki kesadaran
untuk memeluk suatu agama. Hampir semua masyarakat Jawa meyakini adanya Tuhan
Yang Maha Kuasa yang menciptakan manusia dan alam semesta serta yang dapat
menentukan celaka atau tidaknya manusia di dunia ini atau kelak di akhirat.
Yang perlu dicermati dalam hal ini adalah bagaimana mereka meyakini adanya
Tuhan tersebut.
Masyarakat
Jawa kontemporer dengan sejumlah kelompok sosio-religiusnya yang rumit, yang
terdiri atas:
1. Abangan, atau mereka yang masih menitik beratkan
unsur animistis dari keseluruhan sinkritisme Jawa dan berkaitan erat dengan
elemen petani.
2. Santri, yang menekankan unsur sinkritisme Islami
dan umumnya berkaitan dengan elemen pedagang dan dengan elemen petani tertentu.
3. Priyayi, yang menitik beratkan unsur Hinduisme dan berkaitan dengan elemen-elemen birokrat.
Bagi
kalangan masyarakat Jawa yang santri, hampir tidak diragukan lagi bahwa
yang mereka yakini sesuai dengan ajaran-ajaran aqidah Islam. Mereka meyakini
bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan mereka menyembah
Allah dengan cara yang benar. Sementara bagi kalangan masyarakat Jawa yang abangan,
Tuhan yang diyakini bisa bermacam-macam. Ada yang meyakini-Nya sebagai dewa
dewi seperti dewa kesuburan (Dewi Sri) dan dewa penguasa pantai selatan (Ratu
Pantai Selatan). Ada juga yang meyakini benda-benda tertentu dianggap memiliki
ruh yang berpengaruh dalam kehidupan mereka seperti benda-benda pusaka
(animisme), bahkan mereka meyakini benda-benda tertentu memiliki kekuatan ghaib
yang dapat menentukan nasib manusia seperti makam orangorang tertentu
(dinamisme).Meskipun bertujuan minta kepada Tuhan (Allah), tetapi menempuh cara
yang bertentangan dengan ajaran syariah Islam karena syariah Islam mengatur
masalah ibadah (ibadah mahdlah) dengan tegas dan tidak dapat ditambah-tambah
atau dikurangi.
Bagi kebanyakan orang, ada anggapan bahwa sebagian adat kebiasaan dan tradisi keagamaan yang di lakukan kalangan muslim tradisional, khususnya di Jawa, adalah pencampur-adukan antara ajaran Hindu-Buddha dengan Islam. Sebagai contoh, tradisi keagamaan tentang kenduri dan memperingati orang mati pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke 1000, padahal dalam agama Hindu dan Buddha tidak dikenal kenduri peringatan orang mati pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000. Menurut Agus Sunyoto, apabila ditelusuri dari fakta sosio-kultural religius pada masyarakat Jawa pasca Majapahit, ternyata upacara peringatan orang mati pada hari ke 3, ke 7, ke 40, ke 100, dan ke 1000 termasuk haul adalah tradisi khas Campa yang terpengaruh faham Syi’ah.