Welcome Reader

Minggu, 07 Maret 2021

Prinsip Dasar Epistemologi Studi Islam

 

A.  Paradigma Keilmuan Integratif

Masyarakat Islam memandang ulama tarekat dan ulama fiqih. Keduanya menanamkan paham taklid dan membatasi kajian agama hanya dalam bidang yang sampai sekarang masih dikenal sebagai ilmu-ilmu agama seperti tafsir, fiqih, dan tauhid. Ilmu tersebut mempunyai pendekatan normatif dan tarekat, tarekat hanyut dalam wirid dan dzikir dalam rangka mensucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah swt dengan menjauhkan kehidupan duniawi.

Ulama tidak tertarik mempelajari alam dan kehidupan manusia secara objektif, bahkan ada yang mengharamkan untuk mempelajari filsafat, padahal dari filsafatlah iptek bisa berkembang pesat. Keadaan ini mengalami perubahan pada akhir abad ke-19, yakni sejak ide-ide pembaharuan diterima dan didukung oleh sebagian umat. Al-Faruqi menyerukan perlunya dilaksanakan islamisasi sains. Dan sejak itu gerakan islamisasi ilmu pengetahuan digulirkan, dan kajian mengenai Islam dalam hubungannya dengan pengembangan iptek mulai digali dan diperkenalkan.

Memasuki era modern kesenjangan menghadapi dunia pendidikan tinggi Islam dalam tiga situasi yang buruk pertama, dikotomi yang berkepanjangan antara ilmu agama dan ilmu umum; kedua, keterasingan pengajaran ilmu-ilmu keagamaan dari realitas kemodernan; dan ketiga menjauhnya kemajuan ilmu pengetahuan dari nilai-nilai agama.

Iwan Satriawan memberikan beberapa solusi alternatif yang bisa dipertimbangkan untuk menyelesaikan berbagai ketimpangan paradigma keilmuan di atas. Pertama, paradigma pendidikan umat Islam memang harus diubah dengan memasukkan visi religiusitas sebagai basis utama pendidikan. Dengan konsep ini diharapkan akan lahir generasi yang leading dan enlightening. Kedua, harus ada upaya serius untuk melakukan proses harmonisasi antara sistem pendidikan sekuler dan nilai-nilai Islam, sehingga konflik-konflik ilmu pengetahuan bisa diminimalisasi. Kedua, harus ada upaya serius untuk melakukan proses harmonisasi antara sistem pendidikan sekuler dan nilai-nilai Islam, sehingga konflik-konflik ilmu pengetahuan bisa diminimalisasi.

 

B.  Berbagai Model Integrasi Ilmu dan Agama

Menurut Armahedi Mahzar, setidaknya ada 3 (tiga) model integrasi ilmu dan agama, yaitu model monadik, diadik dan triadik. Pertama, model monadik merupakan model yang populer di kalangan fundamentalis religius maupun sekuler. Kalangan fundamentalisme religius berasumsi bahwa agama adalah konsep universal yang mengandung semua cabang kebudayaan.

Kedua, model diadik. Model ini memiliki beberapa varian. Pertama, varian yang menyatakan bahwa sains dan agama adalah dua kebenaran yang setara. Varian kedua berpendapat bahwa, agama dan sains merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sedangkan varian ketiga berpendapat bahwa antara agama dan sains memiliki kesamaan. Kesamaan inilah yang bisa dijadikan bahan integrasi keduanya.

Ketiga, model triadik. Dalam model triadik ini ada unsur ketiga yang menjembatani sains dan agama. Jembatan itu adalah filsafat. Model ini diajukan oleh kaum teosofis yang bersemboyan “there is no religionhigher than truth” Kebenaran adalah kebersamaan antara sains, filsafat dan agama.16 Tampaknya, model ini merupakan perluasan dari model diadik, dengan memasukkan filsafat sebagai komponen ketiga yang letaknya di antara sains dan agama.

Menurut Muhammad ’Ãbid al-Jãbirî, ada tiga model epistemologis yang berlaku di kalangan Arab-Islam yaitu epistem bayãnî, ‘irfãnî dan burhãnî. al-Jabiri membedakan antara ketiga epistemologi tersebut, bahwa bayãnî menghasilkan pengetahuan lewat analogi realitas non fisik atas realitas fisik (qiyãs al-ghayb ‘alã al-shãhid) atau mengqiyãskan furû’ kepada asl, ‘irfãni menghasilkan pengetahuan setelah melalui proses kashf yaitu penyatuan ruhani kepada Tuhan dengan penyatuan universal (kulliyãt), sedangkan burhãnî menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang diyakini validitasnya.

 

C.  Integrasi Interkoneksi: Antara Teori dan Praktik

Dari paradigma integrasi-interkoneksi, kita akan membayangkan beberapa hal:

1. Pada ranah filosofis integrasi interkoneksi, setiap mata kuliah harus diberi nilai fundamental eksistensial dalam kaitannya dengan disiplin keilmuan lainnya dan dalam hubungannya dengan nilai-nilai humanistik.

2. Pada ranah materi, integrasi interkoneksi merupakan bagai- mana suatu proses mengintegrasikan nilai-nalai kebenaran universal umumnya dan keIslaman khususnya dalam pengajaran mata kuliah umum seperti filsafat, antropologi dan lain-lain. Implementasi integrasi interkoneksi pada ranah materi tersebut bisa berbentuk:

a.    Model pengintegrasian kedalam paket kurikulum

b.   Model penamaan mata kuliah yang menunjukan hubungan antara dua disiplin ilmu umum dan keIslaman

c.    Model pengintegrasian kedalam tema-tema mata kuliah

3.  Pada ranah metodologi, yaitu ketika sebuah disiplin ilmu diintegrasi dan diinterkoneksikan dengan disiplin ilmu lain, contohnya psikologi dengan nilai-nilai Islam

4. Pada ranah strategi, merupakan ranah pelaksanaan atau praktis dari proses pembelajaran keilmuan integrasi interkoneksi.