Welcome Reader

Minggu, 07 Maret 2021

Posisi Islam Sebagai Agama

Islam dilihat dari sisi bahasa berarti damai, sejatera, patuh, dan tunduk. Oleh karena itu, orang Islam seharusnya mampu menebarkan kedamaian dan kesejahteraan, disamping itu orang Islam akan selalu patuh dan tunduk terhadap tuntunan syari'at Islam. Adapun secara terminologis seorang muslim adalah orang yang mampu menebarkan kedamaian untuk dirinya dan orang lain, baik dengan ucapan dan juga perbuatannya. Seorang muslim dituntut agar mampu berkomunikasi yang menyejukkan semua pihak termasuk dengan orang yang tidak seagama, demikian juga aktivitasnya tidak akan menyakiti dan melukai dirinya dan orang lain.

Syari'at Islam hadir muka bumi dalam rangka rahmatan lil alamin artinya akan memberi kesejukan kepada siapa pun termasuk bagi masyarakat non muslim dengan syarat mereka mau berdampingan dan hidup rukun, damai, dan saling menghargai. Akan tetapi, jika aktivitas mereka merongrong keharmonisan, maka aktivitasnya perlu diluruskan kembali, agar rasa aman tetap dapat dinikmati masyarakat.

Syari'at Islam memberikan aturan hukum pidana terhadap para terpidana yang dengan sengaja melanggar hukum dan diyakini secara nyata sebagai pelakunya, sebab bagi tersangka pelaku yang kurang memenuhi syarat, atau kurang memiliki alat bukti tidak boleh dikenai hukuman. Hal ini karena perinsip eksekusi dalam hukum Islam adalah tidak boleh diterapkan hukuman “hudud” jika terdapat syubhat (keraguan) dan perinsip "keliru memaafkan lebih baik daripada keliru dalam menghukum.

Jamâl al-Bannâ mencetuskan bahwa Islam adalah agama dan umat bukan agama dan negara karena watak negara yang hegemonik. Bagi Jamâl, kekuasaan, diakui atau tidak, mampu merusak ideologi (aqîdah).menurut Jamâl al-Bannâ Islam hadir tanpa membedakan suku, ras manusia, laki-laki maupun perempuan. Semua diciptakan untuk menjadi khalîfah fî al-ard (pemimpin di bumi).

Islam sebagai agama sangat tidak mungkin dikorelasikan dengan sebuah kekuatan (al-sultah), karena kekuatan tersebut akan selalu mendistorsi dan mengeksploitasi akidah tertentu. Oleh karenanya, ide negara Islam akan sangat kontras dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Bagi Jamâl, ide yang benar adalah “ummah muslimah” (umat yang tunduk), di mana umat yang tunduk tersebut dengan sendirinya akan mengasosiasikan dalam nilai-nilai Islami sebagai tujuan bermasyarakat dan bernegara. Standar hukum negara adalah al-Qur’ân yang memuat prinsip keadilan sebagai tujuannya.

Adapun isyarat al-Qur’ân mengenai sistem pemerintahan itu sendiri dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.  Al-Qur’ân menjadikan para rasulnya sebagai pendakwah, penyampai risalah Tuhan tanpa ada satu otoritas mutlak untuk memaksakan satu kepercayaan tertentu kepada orang lain.

2.  Al Qur’ân tidak pernah menyebut kata dawlah (negara) sebagai ilustrasi sistem pemerintahan. Penyebutan dawlah dalam al-Qur’ân hanya sekali dan maknanya lebih kepada “sirkulasi kekayaan” (tadâwul al-tharwah). Sebagai gantinya, al-Qur’ân lebih familiar dengan bahasa “ummah” ketika harus mengasosiasikan sebuah kekuasaan.

3.  Kata hukum dalam al-Qur’ân sebenarnya bukan deskripsi politik. Karena hukum merupakan otoritas Tuhan yang di dalamnya terdapat dua pilihan antara mengikuti atau mengabaikan.

4.  Al-Qur’ân mengusung shûrâ sebagai bagian dari sistem sebuah negara dan menegasi model teokrasi, monarki dan sikap individualis dalam sistem pemerintahan.

5. Al-Qur’ân mengibaratkan bahwa hidup bermewah-mewahan adalah salah satu faktor kemerosotan sebuah negara.

6.  Al-Qur’ân melihat bahwa kekuatan sistem perundang-undangan terletak kepada keadilan. Allah berfirman di dalamnya wa idhâhakamtum bayn al-nâs an tahkumû bi al-‘adl.

7.    Keadilan bukan proporsi hukum semata namun lebih dari itu ia basis episteme sharî‘ah juga.

Adapun nilai-nilai global yang diasosiasikan al-Qur’ân dalam pandangan Jamâl al-Bannâ tentang sistem pemerintahan dan yang sudah dipraktikkan Nabi SAW terhadap negara Madinah dan al-Khulafâ‘ al-Râshidûn pada era Abû Bakar dan ‘Umar bin Khattâb, antara lain:

1.   Sistem pemerintahan harus tunduk pada independensi hukum, antara lain:

a.    Negara tidak boleh diktator atau dikuasai oleh partai-partai tertentu.

b.    Tidak ada seseorang pun yang berada di atas hukum atau bahkan kebal terhadapnya.

c.    Tidak ada perbedaan di depan supremasi hukum.

d.    Tidak ada hukum yang diperjual belikan.

e.    Tidak ada hukum lain selain hukum yang menaungi umat yang ada.

2. Walaupun undang-undang sebuah negara terinspirasi dari prinsip-prinsip yang terdapat dalam al-Qur’ân namun soliditas umat mutlak di atas segalanya. Al-Qur’ân adalah undang-undang, akan tetapi baik pemahaman maupun wilayah praksis mutlak di tangan umat seutuhnya.

3.   Mengikuti aturan al-Qur’ân bukan berarti mengikuti aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh para ahli tafsîr, ahli h}adîth atau bahkan ahli fiqh sekalipun. Akan tetapi harus mengikuti aturan yang terpercaya dari al-Qur’ân itu sendiri tanpa berusaha menyimpang dari kandungan al-Qur’ân yang sebenar-benarnya.

4. Prinsip shûrâ (musyawarah) adalah salah satu elemen penunjang bagi terciptanya sebuah kemaslahatan, dan tidak diperkenankan pengambilan sebuah kesimpulan terlahir dari egoisme tanpa melalu prosesi musyawarah.

5.  Tujuan tertinggi dari sebuah negara adalah unsur keadilan di dalamnya, khususnya keadilan ekonomi pada masyarakat. Adapun tujuan-tujuan dari negara antara lain:

a.    Memenuhi kebutuhan masyarakat

b.    Memberikan keamanan dan kenyamanan

c.    Mengembangkan ilmu pengetahuan

d.    Menyebarkan nilai peradaban Islam seperti kebebasan, persamaan, kebaikan, dan keadilan.

e.    Menguatkan perekonomian.

f.     Saling membantu dengan umat Islam di negara lain. 

Adapun pandangan Jamâl al-Bannâ tentang pluralisme biasa merujuk kepada ayat-ayat al-Qur’ân mengenai sikap wasatîyah (moderat) sebagai sikap pilihan masyarakat Islam di tengah himpitan beberapa aliran yang ada baik aliran kanan, kiri, Barat ataupun Timur. Di samping itu, pluralitas adalah bagian dari kehendak Allah dan Ia menciptakan berbagai variabelnya agar pluralitas tidak mengalami benturan. Oleh karena itu, tauhid murni adalah meyakini bahwa keesaan hanya milik Allah dan pluralisme adalah prinsip dasar masyarakat. Al-Qur’ân tidak hanya mengisyaratkan pluralisme secara global, bahkan al-Qur’ân menanamkan kaidah-kaidah mendasar bagi kenyataan pluralisme. Kaidah-kaidah itu kemudian mencapai klimaksnya ketika al-Qur’ân yang menegaskan adanya pluralistas agama yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya di dalam hidup ini.